Siapa yang tak kenal Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Ya… ia adalah: mantan Presiden RI yang ke empat, seorang tokoh cendekiawan muslim dari kalangan NU yang terkenal, mantan ketua PB-NU, penulis yang jempolan, sekaligus kalau boleh saya katakan sebagai seorang kyai humoris yang pilih tanding. Tentu masih banyak hal-hal terkenal lainnya terkait dengan Gus Dur, semisal ada yang mengatakan bahwa Gus Dur itu: setengah “Wali”; Gus Dur itu punya indra ke enam; Gus Dur itu bisa “menerawang” kejadian-kejadian yang telah dan akan terjadi?; dan sebagainya. Di era kepemimpinannya sebagai seorang presiden, Gus Dur terkenal dengan pernyataan-pernyataannya yang kontroversial, yang bikin bingung semua orang. Namun, di sini saya tak ingin membicarakan masalah beliau yang terkait politik. Di sini saya tertarik dengan salah satu prilaku yang sering ditampilkan olehnya dalam hampir setiap kali ada kesempatan. Apa itu? Ya prilakunya dalam membuat lelucon yang seringkali mengundang gelak-tawa para pendengar dan penyimaknya. Jadi, saya mau menyoroti Gus Dur dari segi keterkenalannya sebagai seorang kyai humoris yang pilih tanding. Pertanyaan saya, bagaimana caranya Gus Dur membuat lelucon? Mungkin kalau pertanyaan ini langsung saya ajukan ke Gus Dur, dengan enteng dan lucu tentu Gus Dur akan menjawabnya. Tapi, baiknya saya tak menanyakannya. Cara yang saya lakukan adalah dengan melakukan observasi kecil-kecilan tentang berbagai lelucon yang ia buat. Mudah-mudahan dengan cara ini saya bisa tahu cara beliau bikin lelucon. Baiklah, berikut ini sebuah contoh lelucon pendek yang dibuat Gus Dur, saya kutip dari [www.gusdur.net](http://febdian.net/ fisika itu adalah sunnatullah). Contoh 1: *After Gus Dur was appointed President and Megawati Sukarnoputri Vice President last year, Wahid said in front of an open microphone: "This is an ideal team--the President can't see and the Vice President can't talk."* Bila saya terjemahkan secara bebas, lelucon tersebut kira-kira begini: setelah Gus Dur diangkat menjadi presiden dan Megawati sebagai wakil presidennya tahun lalu, Wahid berbicara di mikrofon: “Ini adalah sebuah tim yang ideal— Presidennya tak bisa melihat dan wakilnya tak bisa bicara.” Dari contoh 1 ini saya dapat beberapa informasi penting, bagaimana caranya ia bikin lelucon. Pertama, Gus Dur tak malu-malu untuk mengatakan kejujuran, apa adanya, dan tak malu-malu mengakui keterbatasan dirinya. Kedua, Gus Dur menggunakan sebuah sindiran yang cantik namun mengena. Ketiga, Gus Dur memanfaatkan suasana di kala orang lain berfikir serius, ia malah berfikir main-main. Untuk lebih memperjelas lagi bagaimana Gus Dur bikin lelucon, mari kita simak lagi contoh berikut. Dikutip juga dari [www.gusdur.net](http://febdian.net/ fisika itu adalah sunnatullah). Contoh 2: Saat ngobrol-ngobrol santai dengan para wartawan, di rumahnya JL Warung Silah Ciganjur, Kamis siang, Gus Dur melontarkan lelucon soal polisi. Lelucon yang sebenarnya juga kritikan itu dilontarkannya menjawab pertanyaan wartawan perihal moralitas polisi yang kian banyak dipertanyakan.“Polisi yang baik itu cuma tiga. Pak Hugeng almarhum bekas Kapolri, patung polisi dan polisi tidur,” selorohnya. Informasi penting yang saya dapat katakan dari contoh 2 ini adalah bahwa: dalam membuat lelucon diperlukan pengetahuan hasil pengalaman dan pengamatan yang cermat. Tampaknya dua contoh belum cukup untuk menggali informasi dasar bagaimana caranya Gus Dur bikin lelucon. Baiklah mari kita lihat contoh 3, yang saya kutip pula dari [www.gusdur.net](http://febdian.net/ fisika itu adalah sunnatullah) berikut ini. Contoh 3: ini cerita Gus Dur beberapa tahun yang lalu, sewaktu jaman orde baru. Cerita tentang sayembara menebak usia mumi di Giza, Mesir. Puluhan negara diundang oleh pemerintah Mesir, untuk mengirimkan tim ahli paleoantropologinya yang terbaik. Tapi, pemerintah Indonesia lain dari yang lain, namanya juga jaman orde baru yang waktu itu masih bergaya represif misal banyaknya penculikan para aktivis. Makanya pemerintah mengirimkan seorang aparat yang komandan intel. Tim Perancis tampil pertama kali, membawa peralatan mutakhir, ukur sana ukur sini, catat ini dan itu, kemudian menyerah tidak sanggup. Pakar Amerika perlu waktu yang lama, tapi taksirannya keliru. Tim Jerman menyatakan usia mumi itu tiga ribu dua ratus tahun lebih sedikit, juga salah. Tim Jepang juga menyebut di seputar angka tersebut, juga salah. Giliran peserta dari Indonesia maju, Pak Komandan ini bertanya pada panitia, bolehkah dia memeriksa mumi itu di ruangan tertutup. "Boleh, silahkan," Jawab panitia. Lima belas menit kemudian, dengan tubuh berkeringat Pak komandan itu keluar dan mengumumkan temuannya kepada tim juri. "Usia mumi ini lima ribu seratus dua puluh empat tahun tiga bulan tujuh hari," Katanya dengan lancar, tanpa keraguan sedikit pun. Ketua dan seluruh anggota tim juri terbelalak dan saling berpandangan, heran dan kagum. Jawaban itu tepat sekali! Bagaimana mungkin pakar dari Indonesia ini mampu menebak dengan tepat dalam waktu sesingkat itu? Hadiah pun diberikan. Ucapan selamat mengalir dari para peserta, pemerintah Mesir, perwakilan negara-negara asing dan sebagainya dan sebagainya. Pemerintah pun bangga bukan kepalang. Menjelang kembali ke Indonesia, Pak komandan dikerumuni wartawan dalam dan luar negeri di lobby hotel. "Anda luar biasa," kata mereka. "Bagaimana cara anda tahu dengan persis usia mumi itu?" Pak komandan dengan enteng menjawab, "saya gebuki, ngaku dia." Contoh 3 ini menurut amatan saya, merupakan kombinasi cantik antara: penggunaan sindiran, pengetahuan dan wawasan yang luas, pemanfaatan suasana kontekstual (keadaan di masa orde baru) secara jujur apa adanya, dan gaya narasi yang memikat. Wah ternyata, semakin saya amati, semakin banyak dan kompleks hal-hal yang diperlukan untuk bikin lelucon ala Gus Dur. Tampaknya, diperlukan penelitian yang serius. Tak cukup dengan observasi kecil-kecilan saja. Andai saja bidang yang saya garap sekarang tentang kebahasaan/sastra, saya mau bikin thesis atau bahkan disertasi tentang cara Gus Dur bikin lelucon. Tapi, tak apa-apa deh…. Mudah-mudahan ada pembaca yang mau mewujudkan keinginan saya ini (mudah-mudahan ada pembaca, yang garapan studinya tentang sastra dan lagi bingung mencari ide untuk menulis thesis/disertasi, saya sarankan ide saya saja dilanjutkan. Nanti, kalau benar-benar ada, beritahu saya… OK?) Akhir tulisan ini, saya masih perlu bertanya: bagaimana caranya Gus Dur membuat lelucon? Tentang Penulis: *Master Student of Freudenthal Institute, Utrecht University, The Netherlands* *Jurusan Pendidikan Matematika, Universitas Pendidikan Indonesia (Dulu namanya IKIP Bandung), Bandung* Ingin tahu lebih lanjut tentang saya? Silakan kunjungi: http://mathematicse.wordpress.com/
sumber
sumber
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar